Halaman

Senin, 13 Desember 2010

Sejatinya Negarawan

Oleh: Annisa N.Amala

Negarawan dengan pemikirannya yang mencerdaskan dan menggerakkan adalah sosok yang dibutuhkan Indonesia dan dunia untuk keluar dari krisis multidimensi yang berkepanjangan. Mulai dari masalah nasional yang akhir-akhir ini melanda Indonesia misalnya bencana alam, korupsi, ketidakadilan hukum, kemiskinan, kericuhan pemilihan umum, dan sejuta permasalahan dalam negri lainnya, sampai masalah internasional misalnya perubahan iklim, pemanasan global, krisis Palestina, Timur Tengah dll membuat masyarakat semakin rindu dengan solusi yang menyeluruh dari sang negarawan sejati. Sayangnya, umat Muslim maupun para politisi Muslim kini semakin terjerumus pada arus sekularisasi yang memisahkan pandangan hidup Islam dari kehidupan. Akibatnya, Islam hanya ditempatkan pada tata aturan religi saja, sedangkan ranah solusi dan politik diserahkan pada aturan buatan manusia. 


Definisi Politik
    Secara bahasa, kata politik merupakan hasil serapan dari bahasa Inggris politic. Kata padanan lainnya policy. Dalam bahasa Arab diistilahkan siyasah. Dalam bahasa Inggris, politic artinya “mengatur”. Dalam bahasa Arab, siyasah berasal dari kata sasa-yasusu-siasatan artinya “mengurus”. Dalam bahasa Indonesia, kata yang sejalan dengan makna politik adalah “urus”,”mengurus”.  Masih secara bahasa, fakta menunjukkan bahwa kata politik berasal dari bahasa Yunani polis yang dapat berarti “kota” atau “negara-kota”. Dari kata polis ini diturunkan kata-kata lain seperti polites (warga negara) dan politicos nama sifat yang berarti “kewarganegaraan”. Politik paling sering dipahami dalam kaitannya dengan pengaturan pemerintahan.
    Secara istilah, uraian politik menurut Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam bukunya An-Nizhom Hukmi fil Islam. Beliau mengatakan arti siyasah (politik) adalah pengaturan urusan masyarakat/rakyat/publik/umat/bangsa, baik di dalam maupun di luar negeri dengan hukum-hukum tertentu dan dilakukan secara praktis oleh penguasa/pemerintah,dikontrol dan diawasi oleh masyarakat/rakyat/publik/umat/warga.
    Politik dan Islam adalah satu kesatuan, karena Islam mengatur tiga hubungan manusia yakni hubungannya dengan Tuhannya, dengan dirinya sendiri, dan dengan sesama manusia. Jadi, Islam mengatur semua urusan termasuk interaksi politik. Islam adalah agama yang sempurna yang terdiri atas akidah dan syariah. Oleh karena itu, seorang orientalis seperi H.A.R Gibb pun mengakui kesempurnaan Islam “Islam is not only a religion, but a complete civilization”. (Islam bukan hanya sebuah agama ritual, tetapi juga sebuah peradaban yang lengkap.” (Riyan, 2008)
Maha Benar Allah dalam firmannya:
“Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu..” (TQS Al-Maidah:3).
    Aktivitas politik seharusnya menjadi aktivitas keseharian umat Muslim dan para politisinya. Lebih jauh lagi, segala problematika masyarakat yang tengah melanda adalah akibat tidak diterapkannya Islam. Oleh karenanya, diperlukan sosok peubah dan pemimpin umat yang tidak hanya sebagai politisi Muslim, namun juga bermental negarawan, yang akan memimpin umat menuju perubahan dengan sistem Islam.
Negarawan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun Depdiknas dan diterbitkan Balai Pustaka (2005), istilah negarawan diartikan sebagai seorang ahli kenegaraan; ahli dalam menjalankan negara (pemerintahan); pemimpin politik yang secara taat asas menyusun kebijakan negara dengan suatu pandangan ke depan atau mengelola negara dengan kebijaksanaan dan kewajiban. Tafsir yang hampir sama ditemukan pada Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer karangan Peter Salim dan Yenny Salim (1995). Negarawan adalah pakar yang menjalankan pemerintahan atau negara; pakar di bidang kenegaraan. Bisa pula berarti seorang pemimpin politik yang menciptakan kebijakan negara secara taat asas dengan suatu pandangan ke depan (hukumonline.com, 2008).
Dalam ensiklopedi bahasa Inggris, dikemukakan definisi negarawan (statesman), statesman is usually a politician or other notable figure of state who has had a long and respected career in politics at national and international level (negarawan biasanya merujuk pada seorang politisi atau tokoh yang berprestasi (berjasa) pada satu negara yang telah cukup lama berkiprah dan berkarir di kancah politik nasional dan internasional (huzaifahhamid.blogspot.com, 2009).
Secara umum, definisi negarawan menurut kebanyakan literatur merupakan para penguasa atau orang-orang yang memerintah suatu negara. Julukan negarawan hanya pantas diberikan kepada kepala negara, perdana menteri, dan posisi pemerintahan lainnya. Bahkan, para ahli tata negara membagi dua golongan warga negara yaitu negarawan dan orang biasa (Zallum, 2004). Setiap orang yang memegang kekuasaan dalam tampuk pemerintahan disebut negarawan, tanpa melihat track record atau rapor dari pejabat tersebut.
Pemahaman di atas adalah pemahaman yang tidak benar. Penguasa sebuah negara bisa saja seorang negarawan, namun bisa juga bukan. Sebaliknya, seorang biasa dapat menjadi seorang negarawan, meskipun ia tidak melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Bisa jadi seorang petani di sawah, seorang karyawan di pabrik, seorang pedagang di pasar, atau seorang guru di sekolah, adalah seseorang yang bermental negarawan (Zallum, 2004).
Ambil contoh, sikap para penguasa di Indonesia dalam menyambut kedatangan Barack Obama ke Indonesia pada 9-10 November 2010 lalu. Ibarat tamu agung yang harus disambut dengan rasa persahabatan yang mendalam, pemerintah Indonesia menyiapkan 18.000 personil pengamanan demi keselamatan “tuannya”. Dengan alasan untuk menjadikan nama Indonesia sebagai negara yang besar di mata dunia dan menjaga hubungan bilateral dua negara, membuat penguasa negri ini menyambutnya bak tamu kehormatan. Tak ketinggalan sebagian umat Islam di Indonesia yang mengeluarkan jurus dalil terkait akhlak untuk menghormati tamu, dijadikan pembenaran untuk menyambut hangat Obama. Sebagai negarawan sejati, para penguasa negri ini harus jeli melihat maksud di balik kedatangan Obama. Sikap kritis atas pengukuhan perjanjian kemitraan komprehensif AS-Indonesia yang menjadi legalitas penjajahan gaya baru ala kapitalisme sepatutnya menjadi perhatian utama seorang negarawan. Realitas membuktikan, justru banyak dari kalangan orang biasa (baca: tidak dalam posisi pemerintahan) bisa melihat kebusukan rencana dalam dokumen perjanjian tersebut. Hal ini menjadikan orang biasa sampai pada tataran politisi, bahkan beberapa diantaranya mencapai level negarawan karena dapat menggerakkan kalangan yang lain untuk ikut berpikir dan bergerak sesuai pemahamannya.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa negarawan merupakan seorang pemimpin politik kreatif, inovatif, dan bermental pemimpin yang mampu mengatur urusan kenegaraan, menyelesaikan permasalahan, serta mengendalikan hubungan pribadi dan urusan umum. Negarawan bisa muncul di tengah-tengah rakyat padahal tidak menjabat suatu kedudukan kenegaraan serta tidak melakukan tugas-tugas pemerintahan (Zallum, 2004).
Pada zaman kekhalifahan, kaum Muslimin berhasil mencetak pribadi negarawan dari kalangan pemegang kendali pemerintahan, misalnya Abu Bakar (ra), Umar bin Khaththab (ra), Ali bin Abi Thalib (ra), Umar bin Abdul Aziz, Shalahuddin al-Ayyubi, Muhammad al-Fatih, dll, serta mental negarawan dari kalangan orang biasa tanpa jabatan pemerintahan, misalnya Ibnu Abbas, al-Ahnaf bin Qays, Ahmad bin Hanbal, Ibnu Taimiyah, dll (Zallum, 2004). 

Syarat Negarawan
Tidak sedikit kalangan yang menerapkan standar agar seseorang layak diberi gelar negarawan. Dalam sistem sekularisme-kapitalis, terlihat jelas kebatilan standar negarawan karena menilai berdasarkan asas memisahkan ideologi agama dari kehidupan, sehingga sosok negarawan dianggap orang yang mampu mengutamakan kepentingan bangsa di atas segalanya (termasuk perintah Allah SWT). Di Indonesia misalnya, kita sering mendengar seorang pemimpin bangsa yang layak mendapatkan gelar negarawan salah satunya adalah proklamator Mohammad Hatta, atau Bung Hatta. Bukan hanya karena jasa-jasanya sebagai Bapak bangsa (founding father) Republik Indonesia semata, tetapi terutama karena sikapnya yang selalu mengutamakan kepentingan bangsa di atas segalanya. Bung Hatta-lah yang konon pada tahun 1945 berhasil meminta para tokoh-tokoh Islam agar mau berbesar hati untuk menghapuskan tujuh kata dari Piagam Jakarta agar tidak menyinggung perasaan perwakilan dari Indonesia Timur yang beragama Nasrani (ditpolkom.bappenas.go.id, 2009).
Di dalam sistem Islam, umat yang menjadi tempat tumbuh dan berkembangnya para negarawan, akan menikmati pemikiran-pemikiran negarawan dalam urusan kehidupan mereka, baik urusan dalam negeri maupun urusan internasional, serta merasakan tanggung jawab mereka kepada seluruh rakyat. Untuk dapat mengurus kepentingan umat dan menyelesaikan permasalahan mereka, para negarawan harus memiliki pemahaman terhadap nilai-nilai yang mereka yakini kebenarannya di antara bangsa-bangsa di dunia, sehingga ia berpacu untuk mendapatkan posisi tertinggi di kancah internasional. Karenanya, syarat-syarat bagi tumbuh dan berkembangnya mentalitas negarawan dapat dikelompokkan dalam tiga hal, yaitu:
1.    Ia harus memiliki sudut pandang tertentu dalam kehidupannya, yakni berupa pemikiran yang menyeluruh.
2.    Ia harus memiliki sudut pandang tertentu yang dapat menjamin tercapainya kebahagiaan hakiki dalam realitas kehidupan.
3.    Ia harus memiliki suatu peradaban tertentu yang mampu mengangkat manusia dalam keadaan yang luhur bentuk kehidupan yang tertinggi, serta aspek pemikiran yang tertinggi dipadukan dengan nilai-nilai yang luhur dan ketentraman yang abadi.
Umat Islam mempunyai suatu pemikiran yang menyeluruh tentang manusia, kehidupan, dan alam semesta. Umat juga memiliki sudut pandang yang khas yang dapat merealisasikan kebahagiaan umat Islam di dunia dan di akhirat. Umat Islam juga mempunyai peradaban yang unik, yang mampu mengangkat kaum Muslimin dalam derajat kehidupan yang paling tinggi dan hidup dalam tingkat pemikiran yang paling luhur.
Namun demikian, meskipun umat Islam memiliki potensi di atas tetapi mereka tidak mengaplikasikannya dalam realitas kehidupan. Konsep-konsep tersebut hanya sekedar tercantum pada buku-buku dan buah pikiran ulama, tanpa ada penerapan.
Orang-orang yang mampu mentransfer kitab-kitab dan pikiran para ulama tersebut ke dalam realita kehidupan disebut sebagai negarawan, sehingga negarawan adalah pemimpin politik kreatif. Tegaknya pemikiran politik dalam kehidupan membutuhkan suatu kepemimpinan politik. Untuk merealisasikannya,, diperlukan seseorang yang memahami secara kreatif berbagai pemikiran politik itu dan melaksanakannya tanpa kemunafikan (Zallum, 2004).

Kelangkaan Sosok Negarawan Muslim
Ketiadaan kepemimpinan politik umum bagi umat Islam menyebabkan umat tidak lagi menerapkan pemikiran-pemikirannya dalam kehidupan, maka tempat tumbuhnya para negarawan sudah tidak ada lagi. Bahkan mentalitas para penguasa kini tidak mencerminkan mentalitas negarawan yang dibutuhkan umat. Mereka tidak mampu memikirkan, merencanakan, apalagi melaksanakan urusan-urusan umat. Sebaliknya, mereka menyerahkan urusan umat kepada negara-negara adidaya. AS dan sekutunya telah berhasil memperdaya kaum Muslim agar tunduk pada dominasinya. Sejak keruntuhan Khilafah Islam yang seharusnya menjadi pelindung penerapan aturan Islam, Barat berhasil menjejalkan paham busuknya seperti demokrasi, sekularisasi, HAM, nasionalisme, liberalisme, kapitalisme, yang menyebabkan kaum Muslimin jauh dari pemahaman politik Islam yang benar dan diadopsinya hukum serta politik sekular barat di antara negri-negri Islam. Dalam situasi seperti ini, penjajahan Barat terus menyebar ke negri kaum Muslimin. Akibatnya timbul kekacauan di antara umat, dan merajalelanya pemikiran dan pemerintahan tiruan yang lemah dan tidak mengurus seluruh kepentingan umat. Kejadian ini sesuai dengan ucapan Rasulullah saw:
“Kamu akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kamu (kafir), sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sekalipun mereka memasuki lubang biawak, kamu akan mengikutinya, sekalipun mereka menyetubuhi istri-istrinya di jalan, kamu pun akan mengerjakannya.” (HR Ahmad, dari Abi Sa’id al Khudri ra).

Mencetak Kualitas Negarawan Sejati
Bagaimana mungkin kaum Muslimin bisa memiliki sikap kepemimpinan politik bila ia tidak pernah diberi konsep-konsep kepemimpinan dan pemikiran politik? Oleh karenanya untuk membangun kembali kepemimpinan politik Islam di tengah kaum Muslimin, mereka harus dibina dengan tsaqofah politik yang berlandaskan akidah Islam. 
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim disebutkan
“Adalah Bani Israil yang mengatur urusan mereka (tasusuhum) adalah para Nabi. Bila seorang Nabi wafat, digantikan Nabi yang berikutnya. Tetapi, tidak ada lagi Nabi setelahku, tetapi akan banyak khalifah….”
Hadits tersebut menjelaskan kepada kita bahwa para Nabi selain menyampaikan risalah wahyu, juga mempraktikkan risalah tersebut dalam sebuah masyarakat yang dipimpinnya. Makna frasa “mengatur urusan mereka” (tasusuhum) berasal dari kata sasa-yasusu-siyasatan. Artinya, praktik pengaturan politik adalah perilaku yang dilakukan oleh Nabi sepanjang masa kerisalahannya.
Bila tsaqofah politik Islam ini tersebar luas di antara kaum Muslim, maka diharapkan akan tercipta para negarawan Muslim yang akan mampu membawa umat pada kebangkitannya dan mampu menghasilkan perubahan. Setidaknya ada 5 syarat untuk mendapatkan tsaqofah politik dengan berpikir politis, yaitu:
Pertama, mengikuti secara terus-menerus seluruh berita dan peristiwa politik yang terjadi di dunia.
Kedua, membutuhkan adanya pengetahuan tentang substansi dan makna berita atau peristiwa politik.
Ketiga, tidak melepaskan peristiwa atau berita dari konteks situasi dan kondisinya, serta tidak melakukan generalisasi atas betita atau peristiwa.
Keempat, mengidentifikasi peristiwa dan kejadian dengan cara memeriksanya secara teliti sehingga dapat diketahui sumber berita, tempat terjadinya peristiwa, tingkat kepercayaan terhadap berita, kondisi terjadinya peristiwa, maksud adanya berita atau penyebarannya, panjang pendeknya berita, benar-tidaknya beritan dan hal-hal lain yang ada dalam jangkauan arti “pemeriksaan secara teliti”.
Kelima, mengaitkan berita dengan berbagai informasi berupa berita-berita yang lain (Kurnia dkk, 2004).
Seorang Muslim yang telah memenuhi lima syarat pokok berpikir politis secara berbarengan juga perlu membentuk kesadaran politik dalam dirinya, yakni dengan menjadikan seluruh dunia sebagai objek pengamatannya dengan menggunakan Islam sebagai satu-satunya sudut pandang dalam pengamatannya. Kesadaran politik yang dibangunnya secara benar akan melibatkannya dalam perjuangan politik yang hakiki, yakni dakwah. Pergulatan seorang muslim dalam perjuangan politik yang Islami akan menjadikan dakwah baginya sebagai poros aktivitas kehidupannya. Hal ini pada tahapan selanjutnya akan membangun mentalitas negarawan dalam diri seorang muslim, yakni ketika ia hanya menjadikan Islam sebagai satu-satunya pandangan hidup (way of life), satu-satunya sudut pandang dalam mencapai kebahagiaan dunia-akhirat, serta satu-satunya hadlarah. Mentalitas ini kemudian dipadukan dengan perolehan pengalaman politik yang terbangun dalam sebuah lingkungan politik Islami.
Adapun mengenai konsep kepemimpinan, dipelukan model kepemimpinan yang efektif yang mampu menggugah yang dipimpin (followers). Kepemimpinan seperti ini mengharuskan dimilikinya sejumlah syarat dalam diri seorang pemimpin yakni integrity, compassion, cognizance, commitment, confidence dan communication. Kepemimpinan seperti ini akan mampu membawa perubahan yang mendasar dan besar dalam kehidupan baik secara individu maupun komunitas. Pada ranah individu, ia akan memimpin pola pikir (aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah) pribadi agar pemenuhan dan penyaluran kebutuhan hidup dan naluri sebagai seorang manusia sesuai dan dapat dipertanggungjawabkan kepada sang Khalik, lebih jauh ia akan senantiasa bangkit dari pemikirannya yang awam menuju pemikiran yang menyeluruh. Pada ranah komunitas, individu pemimpin akan melakukan pengerahan dan pemberdayaan segenap komponen komunitas agar secara bersama-sama dapat mencapai tujuan yang ditetapkan dimana interaksi antar individunya berada dalam koridor ide, perasaan, dan aturan yang sama yang berasal dari al Khalik (Kurnia dkk, 2004).
Dengan metode berpikir politis, terciptanya lingkungan politik dan dan gaya kepemimpinan transformasional ini, akan mampu melahirkan sosok peubah di tengah-tengah umat yang disebut negarawan.

Khilafah Mencetak Negarawan Muslim
Ketika kaum Muslimin menerapkan Islam sepenuhnya dalam bingkai daulah Islam, mereka telah berhasil mencetak ribuan orang yang berkualitas negarawan. Mereka semua merupakan hasil tempaan akidah islamiyah, mengikuti jalur pembinaan politik, senantiasa memandu umat dan menyampaikan seruan Islam kepada mereka, menerapkan aturan Islam kepada umat, serta bertanggung jawab atas kepentingan umat (Zallum, 2004).
Muhammad Saw adalah seorang Rasul sekaligus negarawan ulung yang patut ditauladani. Ketajaman analisis politik beliau terekam jelas dari bagaimana strategi perubahan masyarakat yang beliau jalankan. Beliau tidak bersedia menerima kekuasaan dari kalangan Quraisy, walaupun suku ini kuat dari sisi posisi politik dan militer, tetapi  rapuh dari  kekuatan ideologis. Beliau justru menempuh cara yang khas dengan menyatukan kelompok yang tadinya bercerai-berai, Aus dan Khazraj,  dengan kekuatan keyakinan ideologi Islam. Kelompok kecil yang tadinya bercerai-berai ini mampu mengalahkan kekuatan Quraisy yang secara fisik lebih kuat.  Strategi perubahan kekuasaan ini terbukti sangat canggih dan memiliki kekuatan ideologi yang optimal (Lutfi Hidayat).
Begitu pula para khulafaur Rasyidin dan beberapa khalifah selanjutnya yang bermental sebagai negarawan.  Berbeda dengan penguasa saat ini yang tidak peduli terhadap penderitaan rakyat. Banyak politisi dan pejabat sekarang—saat rakyat menderita kemiskinan dan kesulitan memenuhi kebutuhan pangan—justru meminta kenaikan gaji, tunjangan dan fasilitas tambahan.
Hal itu bertolak belakang dengan Khalifah Umar bin al-Khaththab. Ketika masa paceklik dan kekurangan pangan melanda Madinah, Khalifah Umar tidak mau mengecap makanan enak dan hanya makan roti murahan yang diolesi minyak. Beliau berprinsip, jika rakyat bisa makan enak, biarlah dirinya menjadi orang terakhir yang bisa makan enak. Sebaliknya, jika rakyat kelaparan, biarlah dirinya menjadi orang terakhir yang terbebas dari kelaparan.
Bahkan, perkataan Umar menjadi bukti kepeduliaannya terhadap urusan seluruh umat.
“ Andaikan ada seekor hewan melata di wilayah Irak yang kakinya terperosok di jalan, aku takut Allah akan meminta pertanggungjawabanku karena tidak memperbaiki jalan tersebut.”
Tanggung jawab Khalifah Umar bin Abdul Aziz juga mencerminkan seorang negawaran, suatu hari beliau pernah megirim para amil untuk mengajarkan agama kepada masyarakat pedalaman dan membagikan harta. Rabbah bin Hibban, amil di Madinah berkata, “Tidak datang surat-surat kepada kami dari Umar kecuali untuk menghidupkan Sunnah, membagikan harta atau perkara yang baik. Beliau selalu menanyakan tentang keadaan semua kaum Muslim…”
Akhir kata, bukanlah tidak mungkin, mental negarawan melekat pada diri seseorang yang bukan termasuk penguasa atau pejabat negara. Karena yang menjadi persyaratan ialah kemampuannya dalam memimpin umat untuk menuju perubahan dengan pandangan hidup Islam untuk mencapai kebahagiaan hakiki dan menuju peradaban gemilang dalam naungan daulah Islam.
disampaikan dalam HS, November 2010

1 komentar: