Halaman

Minggu, 12 Desember 2010

Kekuatan Politik Umat

Tidak dipungkiri bahwa perpolitikan dunia Islam berada pada tingkat inferior dalam kancah politik internasional. Penyebabnya dapat ditinjau dari segi internal maupun eksternal dunia Islam. Aspek internal dapat dilihat dari realitas kaum Muslim yang anti politik, karena politik identik dengan haus kekuasaan, rakus jabatan, dan serakah kekayaan. Kenyataan ini dianggap jauh dari ajaran Islam yang mulia, sederhana, low profile, dan cinta damai. Akibatnya jalur politik selalu diremehkan. Padahal politik cara Islam merupakan hal pengaturan urusan umat, yang dalam sebuah hadits disebutkan sebagai aktivitas para Nabi dan khalifah terdahulu. Artinya jika mengikuti cara Islam, politik seharusnya menjadi amal yang mulia. Termasuk mengatur urusan umat dengan tata cara Islam merupakan aktivitas politik,


sayangnya kini umat yang fobia politik ini akhirnya menyerahkan tata aturan hidup mereka pada sistem sekularisme (pemisahan agama dari politik/kehidupan). Gaya sekularisme inilah penyebab inferioritas umat. Islam hanya dipakai sebagai tata cara ibadah, sedangkan seperangkat aturan hidup dalam Islam dicampakkan. Jadilah, secara eksternal, dunia internasional, khususnya Barat mudah untuk melakukan propaganda negatif terhadap umat Islam. War on terrorism yang diidentikkan dengan Islam dan kaum Muslim adalah jalan bagi mereka untuk melegalisasi penghancuran beberapa negri Islam, khususnya di Timur Tengah. Lebih jauh lagi, atas nama WOT ini, dengan pongahnya mantan presiden AS, George W.Bush membagi dunia menjadi pro Barat dan pro terrorist (either you are with us, or you are with terrorist). Hal ini menunjukkan penjajahan secara ideologi, yang secara tidak langsung mengharuskan dunia Islam untuk tunduk pada ideologi Barat dengan mengadopsi aturan kapitalisme, sekularisme, liberalisme, dan demokrasi, jika tidak, maka tinggal tunggu nasib sebagaimana yang terjadi pada Palestina, Afganistan, Irak, dan Pakistan.
Inferioritas dunia Islam ini seharusnya membuka mata umat untuk bangkit dari keterpurukannya. Contohlah makna politik di balik ibadah Haji. Mulai dari tempat-tempat yang dikunjungi jamaah Haji, misalnya Makkah dan Madinah, dua tanah suci yang mengingatkan akan kekuatan peradaban Islam, dimana Rasulullah pertama kali mendirikan negara Islam di Madinah, yang pada akhirnya dapat memfutuhat (membuka) Makkah menjadi bagian negara Islam tersebut. Dalam ritual ibadah Haji, kita juga menyaksikan pemandangan agung (masyhad al-a’dham) yakni ketika seluruh umat Muslim sedunia berkumpul dalam satu tempat, diikat oleh satu akidah, satu sistem hidup, dan satu tujuan, tanpa ada batasan semu antar negara (nation state). Jika filosofi ini dibawa dalam realitas kehidupan, maka seharusnya umat ini adalah umat yang superior, kuat, teguh mengemban misinya dalam kehidupan sebagai hamba Allah yang senantiasa tunduk dan patuh pada aturan-Nya. Ibadah Haji juga membuktikkan bahwa umat ini adalah umat yang satu tanpa ada sekat-sekat antar bangsa, sehingga ukhuwah Islamiyah dapat diwujudkan. Sayangnya, ritual haji hanya dijadikan pemantik dalam tataran ketaqwaan individu saja. Tidak aneh jika umat akhirnya tetap dipandang inferior. Karenanya, pentingnya memaknai ibadah Haji dalam arti mewujudkan kembali persatuan umat melalui penghapusan batas-batas negara adalah cara umat Islam mencapai kembali superioritasnya. Perwujudan ini hanya bisa dicapai dengan adanya institusi negara Islam yang didirikan melalui cara-cara yang intelektual, yakni dakwah pemikiran, bukan dengan fisik, kekerasan, apalagi terror. Akhir kata, sebagaimana janji Allah, bahwa Islam diturunkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam, maka pendirian negara Islam bertujuan untuk mengayomi seluruh umat manusia, tanpa membedakan agama, suku, ras, warna kulit, bahasa, dan lain sebagainya.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar