by:Annisa N.Amala
Beberapa
waktu yang lalu, ketua MK Pak Mahfud MD menggegerkan banyak pihak karena
pernyataannya yang cukup “panas” terkait praktik jual beli pasal perundangan di
Indonesia. Untuk membuktikannya memang sulit, kayak kentut…tercium baunya, tapi
jarang yang mau ngaku, atau bahkan gak ada yang ngaku. Pak Mahfud sendiri mengangkat
isu ini bukan tanpa bukti. Ada 4 kasus yang dibeberkan, seperti dikutip di
vivanews.com tanggal 17 November 2011. Pertama, lima orang yang dihukum karena
mengeluarkan dana Yayasan BI sebesar Rp100 miliar untuk menggolkan Undang-Undang
Bank Indonesia, Rp68 miliar untuk pengacara, Rp31 miliar untuk DPR. Kedua,
Rp1,5 miliar Dana Abadi Umat yang dibayarkan ke DPR untuk menggolkan UU Wakaf. Ketiga,
tentang mafia anggaran yang diungkap oleh politikus Partai Amanat Nasional Wa
Ode Nurhayati bahwa ada calo anggaran APBNP yang dipotong setiap proyek sebesar
enam persen. Keempat, kasus suap terkait Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi yang sekarang mulai disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi.
Alasan
keluarnya isu perdagangan pasal dari lisan seorang Mahfud MD karena sebagai
ketua MK, beliau memandang ada yang kurang beres dengan mekanisme perancangan,
pembuatan, sampai penetapan UU di negri ini. Walaupun panduan prolegnas sudah
ada dalam penyusunan UU, tetap saja fakta UU yang dihasilkan rata-rata buruk. Dari
406 undang-undang yang di-judicial review ke MK, 96 di antaranya
dikabulkan. Itu sekitar 23 persen saja. Akhirnya bergulirlah premis ini.
Masih menurut pak Mahfud, ada 3 penyebab kenapa UU yang
dikabulkan jumlahnya sedikit, bisa jadi karena tukar-menukar keinginan politik
antar anggota DPR, atau karena para anggota dewan “kurang ilmu” dan tidak professional,
atau yang bisa jadi akan terjerat tindak pidana yakni adanya jual beli pasal.
Sederhananya, jual beli ini akibat adanya kepentingan pihak
tertentu terhadap suatu kebijakan. Masih ingat saat masa kampanye dulu? Ketika calon-calon
pemimpin negri ini berlomba-lomba meraih suara terbanyak sampai harus ngeluarin
modal yang jor-joran, bahkan ada yang rela jual asset barang-barang berharganya
demi 1 kursi di pemerintahan? Setelah kepilih, kudu ada rancangan balik modal
kampanye dalam tempo sesingkat-singkatnya :D. Nah, pengusaha/pebisnis/investor
jeli melihat fenomena ini. Mereka pastinya butuh kemudahan dari pihak birokrasi
biar usaha/bisnis/investasi mereka pun aman terkendali. Terjadilah hubungan timbal
balik yang saling menguntungkan antara pemerintah dan pengusaha, sering disebut
korporatokrasi. Pengusaha bisa saja menyuap penguasa biar menggolkan UU yang
pro-pengusaha. Hasilnya….muncul UU
Pasar Modal, UU Perseroan Terbatas, UU Penanaman Modal, UU Otda, UU
Kelistrikan, UU Migas, UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat, UU Tindak Pidana Pencucian Uang, UU Perlindungan Konsumen, UU Informasi
dan Transaksi Elektronik (ITE), UU Hak Atas Kekayaan Intelektual, UU Sumber
Daya Air, UU Minerba, dan sebagainya, yang semuanya serba bernuansa neoliberal
dan keberpihakkannya hanya untuk pemodal besar saja. Ujung-ujungnya privatisasi
sumber daya alam. Gimana rakyat? Lagi-lagi diabaikan…
Kalau kata
pak mahfud ada 3 penyebab praktik tarik ulur pasal ini berlangsung, maka
sebenarnya ada 1 hal lagi penyebabnya, lemahnya hukum/UU/aturan/pasal yang
disusun manusia…
Benar
banget kata Allah SWT di dalam surah Al-maidah:50 yang artinya
“Apakah
hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik
daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”
So, lets bring back the law in Quran n Sunnah.
“Apabila
dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah
telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang
munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu” (TQS.An-Nisa:61)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar