Halaman

Selasa, 21 Juni 2011

Sumtin' wrong in life

by:Annisa Nur Amala

Hari ke hari mengamati filosofi kehidupan, membuat seorang anak manusia memikirkan lebih jauh keseharian dunianya dan dunia setiap manusia lainnya…dan ia pun menyadari satu hal. Sulitnya untuk bertahan dalam garis yang lurus tanpa disimpangkan darinya, akhirnya tinggal ia yang memutuskan segalanya…apakah stay on the line, atau menjadi seorang yang kalah?





Seorang anak manusia yang dilahirkan ke dunia ini, tebak apa tujuan ia diciptakan dan akan seperti apa kelak ia dalam perlindungan dunia saat itu? Sebuah misi mulia ditetapkan sebagai langkahnya menjejaki dunia ini, pengabdian yang dilandasi cahaya ikhlas dan haus akan amal kebaikan. Berbagai langkah pun ia tempuh untuk mewujudkan pengabdiannya. Jalan yang ia tempuh ternyata tak mudah, cobaan menghadangnya, kesulitan dan terjalnya tikungan demi tikungan terkadang memaksanya mengorbankan idealitasnya. Bahkan, satu per satu, pegangannya terlepas, semakin menjerumuskannya ke dalam ketidakpastian dan jauhnya ia dari idealisme dan kesempurnaan iman. Gaya hidup, lingkungan, desakan sistem, ditambah kegalauan dirinya sendiri, membuatnya tak bisa mempertahankan apa yang menjadi tujuan ia diciptakan, nampaknya harapan itu semakin pudar, luntur tergerus zaman. Ia semakin menyesali hidupnya, hidup yang berada dalam kubangan zaman kemunafikan dan paksaan untuk terus berbuat kesalahan dan melanggar peraturan. Ibarat memilih 2 buah jalan yang membentang, jalan yang satu penuh dengan cadas dan duri, walaupun ujungnya begitu indah, namun ia lebih meilih jalan yang satunya, tak ada halangan dan rintangan sedikitpun sejauh mata memandang, walaupun ujungnya berakhir dalam kegelapan, ia melihatnya dalam jarak yang pendek, pandangan yang dangkal, dan meminimalkan resiko.
Jadilah ia tumbuh dalam suasana kenyamanan yang melenakan, trap in comfort zone, takut untuk menghadapi ganasnya buah sistem, dengan sikap pengecut ia merasa aman dengan itu semua. Di samping ia terus membayangkan mimpi-mimpi untuk mencapai tujuan hakiki ia diciptakan di dunia, menjadi seperti orang-orang hebat yang hidup di zaman emas, yang tidak hanya berkualitas dalam hal keukhrowian, namun juga keduniawian. Sungguh, celakalah ia yang tidak dapat mempertahankan kekonsistenan menjaga pandangan hidupnya yang lurus karena gerusan zaman,,,Penguat, itulah yang ia butuhkan kini agar dapat bertahan. Walau terseok-seok satu kakinya, memilih untuk tetap pada jalur atau keluar dari jalur, ia pun terus membuat pilihan2 dalam hidupnya. Semoga, ia tidak lagi salah memilih. Hakikatnya, dunia adalah permainan, kehidupan sesungguhnya adalah nanti, yang abadi dan tiada berakhir, lalu untuk apa ia jadikan focus pencapaian jikalau akhirat terus dipandangnya sebagai hal yang kecil dan main-main saja? Tidak, karena ia begitu nyata…

“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” (TQS Al-An’am[6]:32)

“Dan tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda-gurau, dan mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia. Peringatkanlah (mereka) dengan Al Qur'an itu agar masing-masing diri tidak dijerumuskan ke dalam neraka, karena perbuatannya sendiri. Tidak akan ada baginya pelindung dan tidak (pula) pemberi syafa`at selain daripada Allah. Dan jika ia menebus dengan segala macam tebusan pun, niscaya tidak akan diterima itu daripadanya. Mereka itulah orang-orang yang dijerumuskan ke dalam neraka, disebabkan perbuatan mereka sendiri. Bagi mereka (disediakan) minuman dari air yang sedang mendidih dan adzab yang pedih disebabkan kekafiran mereka dahulu.” (Al-An’am[6]:70)

“(yaitu) orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan kehidupan dunia telah menipu mereka". Maka pada hari (kiamat) ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini, dan (sebagaimana) mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami.” (Al-A’raf[7]:51)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar