Halaman

Minggu, 19 Juni 2011

Great History of Islamic Medicine Under Khilafah System


by: Annisa Nur Amala 

“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (QS.Al-A’raf[7]:96)

Maha Benar janji Allah SWT dalam ayatNya. “Melimpahkan” yang berasal dari lafaz “Lafatahna” atau “Membukakan” berkahNya dari langit dan bumi, merupakan janji yang pasti bagi para penduduk bumi asalkan mereka beriman dan bertakwa. Iman dan takwa dapat dicapai dengan mengamalkan Islam sebagai sebuah ideologi atau way of life dalam 3 dimensi kehidupan yang meliputi hubungannya dengan Allah (hablumminallah=berkaitan dengan ibadah ritual kepadaNya), hubungannya dengan diri sendiri (hablumminannafsi=berkaitan dengan dirinya sendiri), dan hubungannya dengan sesama manusia (hablumminannas=berkaitan dengan aspek sosial-kemasyarakatan). Pencapaian kesempurnaan penerapan Islam dalam 3 aspek ini telah dijelaskan dalam QS Al-Baqarah[2]:208 yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”

Lafaz “udkhulu fissilmi kaffah” (masuklah kamu ke dalam Islam secara sempurna) adalah indikasi bahwa iman artinya menerapkan Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Praktik penerapan ini telah dicontohkan oleh Rasullullah saw, berawal dari hijrahnya ke Madinah pada tahun 622 M dan berakhir pada bulan Rajab 1924 M, dalam rentang waktu 1300 tahun, Kaum Muslim berhasil membangun peradabannya yang cemerlang, sebuah negara adidaya bernama Khilafah Islamiyah yang meliputi 2/3 bagian dunia, membentang dari Asia, Afrika, sampai ke Spanyol.  Keberhasilan kaum Muslim membangun peradaban bukan sekedar isapan jempol, bahkan ahli-ahli Barat sekalipun mengakui gemilangnya masa itu.
Salah satu kebutuhan vital manusia ialah rasa sehat dan jauh dari segala penyakit.  Saking pentingnya sehat, Islam memiliki pandangan yang sangat modern, melampaui pandangan peradaban manapun, sejak masa Rasulullah, beliau pernah berpesan pentingnya nikmat sehat setelah nikmat iman.

“Mintalah oleh kalian kepada Allah ampunan dan kesehatan. Sesungguhnya setelah nikmat keimanan, tak ada nikmat yang lebih baik yang diberikan kepada sesorang selain nikmat sehat.” (HR Hakim).

“Orang Mukmin yang kuat itu lebih baik dan disukai Allah daripada Mukmin yang lemah.”
(HR Muslim).

Pada saat Eropa masih menganggap cara perawatan orang sakit dengan metode mistis seperti usapan tangan, ritual pengusiran iblis, dan doa bersama, serta mereka menolak obat-obatan apapun baik dari tumbuhan, hewan, maupun kimia, karena itu dianggap tanda tipisnya iman kepada Tuhan, Islam telah mengenal ilmu kedokteran yang jauh dari takhayul, tetapi berdasarkan percobaan ilmiah. Pengkhotbah Salib Benhard von Clairvaux (1090-1153), dengan tegas melarang para biarawan yang sering sakit untuk berobat pada dokter Muslim dan menggunaakan obat karena tidak sepatutnya membiarkan kesucian jiwa berada dalam bahaya melalui penggunaan obat duniawi. Bandingkan dengan kemajuan pencapaian bidang pengobatan kaum Muslim dengan penelusuran sebuah surat dari seorang pengelana Eropa di dunia Islam ketika sedang menjalani pengobatan di RS yang telah didirikan di masa kekhilafahan.

“Ayahku! Kau bertanya, apakah kau harus membawa uang untukku. Bila aku sudah sembuh dan keluar nanti, rumah sakit akan memberiku pakaian baru dan lima potong emas, sehingga aku tak harus langsung bekerja. Kau pun tak perlu menjual ternak kepada tetangga. Tapi hendaknya kau segera datang jika kau masih ingin menemuiku di sini. Aku terbaring di bagian ortopedik, bersebelahan dengan saal operasi. Bila kau datang melalui pintu masuk utama, berjalanlah lurus melalui aula bagian selatan. Di situ ada poliklinik, tempat aku diperiksa pertama kali setelah aku terjatuh. Di sana setiap pasien baru akan diperiksa oleh para asisten dokter dan mahasiswa, dan jika seseorang dianggap tidak perlu dirawat ­nginap, maka ia akan segera diberi resep obat, yang dapat ditukarkan di apotik rumah sakit. Setelah diperiksa di sana aku lalu didaftar, lalu diantar menemui dokter kepala rumah sakit. seorang perawat memapahku masuk ke bangsal pria, memandikan tubuhku dan mengenakan pakain pasien yang bersih. Di sebelah kiri kau dapat melihat perpustakan, dan ruang kuliah besar berada di belakangmu. Di situlah biasanya dokter kepala memberikan kuliah kepada mahasiswa. Gang di sebelah kiri beranda adalah jalan menuju bangsal wanita. Kau harus tetap mengambil jalan sebelah kanan, terus melewati bagian internis dan bagian bedah. Bila kebetulan terdengar alunan musik dan lagu-lagu dari salah satu kamar, cobalah tengok di dalamnya. Boleh jadi aku sudah berada di sana, di sebuah ruang khusus untuk para pasien yang sudah sembuh. Di situ kita dapat membaca buku-­buku sambil menikmati alunan musik sebagai hiburan. Pagi tadi, ketika dokter kepala bersama para asisten dan perawat dalam kunjungan kelilingnya menjenguk dan memeriksaku, kepada dokter yang merawatku ia mengatakan sesuatu, yang tak aku pahami. Maka ia lalu menjelaskan kepadaku, bahwa besok pagi aku sudah boleh bangun dan meninggalkan rumah sakit. Keputusan yang sebenarnya belum aku inginkan. Rasanya aku masih ingin tinggal di sini lebih lama lagi. Disini semuanya begitu bersih dan terang. Tempat-tempat tidurnya empuk, sepreinya terbuat dari kain damas putih dan selimutnya lembut seperti beludru. Dalam setiap kamar tersedia aliran air, yang akan dihangatkan bila malam yang dingin tiba. Hampir tiap hari disuguhkan masakan daging unggas atau domba panggang yang sangat cocok bagi kondisi perut para pasien. Pasien di sebelahku telah dengan sengaja selama seminggu pura-pura masih sakit, hanya agar ia masih bisa menikmati kelezatan gorengan ayam dalam beberapa hari lagi. Tapi dokter kepala mengetahui hal itu. Karena itu ia pun disuruh segera pulang. Namun untuk menunjukkan bahwa pasien itu sudah benar-benar pulih kesehatannya, ia masih dibolehkan sekali lagi menyantap hidangan roti keju dan ayam panggang. Nah, ayoh, datanglah, sebelum daging ayam terakhir untukku dipanggang!"

Penggambaran surat ini mungkin tidak mengherankan jika terjadi pada masa pengobatan era abad 21 seperti sekarang. Namun, hal ini telah ada sejak 1000 tahun yang lalu, di masa kejayaan Islam dalam naungan Khilafah.
Konsep kesehatan gratis, bahkan negara akan membayar orang yang sakit, jika ia punya tanggungan memberi nafkah kepada keluarganya, yang karena selama sakit ia tidak bisa menjalankan kewajibannya, maka negara akan membayarnya. Ini menunjukkan perhatian besar Islam terhadap terpenuhinya kebutuhan si pasien dan keluarga pasien. Tata letak dan pengaturan kamar-kamar pasien juga sangat diperhatikan, tidak hanya letaknya, namun ketersediaan fasilitas seperti tempat tidur, pakaian bersih, makanan layak, alur perawatan pasien sejak masuk RS sampai dirawat inap, kenyamanan pasien dengan musik dan taman bacaan, serta manajemen mahasiswa kedokteran, para perawat, dan dokter, semuanya dideskripsikan secara apik dalam surat tersebut.
Jika di masa kini, masih banyak RS-RS yang belum memenuhi standar pengobatan pasien, seharusnya menjadi evaluasi bagi para pemikir dan pengambil kebijakan kesehatan, bahwa abad 21 seharusnya penyediaan kebutuhan pasien harus jauh lebih modern dan canggih dibandingkan 1000 tahun yang lalu, namun kenyataannya, kondisinya justru semakin memburuk. Pasien yang terlantar dan tidak mendapatkan pengobatan yang layak  karena birokrasi administrasi, ketidakmampuan pasien membayar biaya pengobatan, sudah menjadi pemandangan sehari-hari di beberapa RS.
Kapitalisme yang memanfaatkan segala peluang agar berbuah uang, menjadi penyebab semakin terpuruknya bidang kesehatan. Bahkan sempat terdengar slogan “orang miskin dilarang sakit” yang menggambarkan mahalnya biaya kesehatan.
Islam, sebagai sebuah jalan hidup, yang mengatur segala bidang kehidupan, termasuk kesehatan, telah membuktikan kepada dunia, pengaturannya yang serba komprehensif dan mensejahterakan, tidak hanya bagi kaum Muslim, namun bagi orang non Muslim, tanpa pembedaan perlakuan sedikit pun.  T.W Arnold dalam bukunya “The preaching of Islam” menggambarkan hal ini.

“Perlakuan pada warga Kristen oleh pemerintahan Ottoman (Khilafah Utsmaniyah) -selama kurang lebih dua abad setelah penaklukkan Yunani- telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa. Kaum Kalvinis Hungaria dan Transilvania, serta negara Unitaris (kesatuan) yang kemudian menggantikan kedua negara tersebut juga lebih suka tunduk pada pemerintahan Turki daripada berada di bawah pemerintahan Hapsburg yang fanatik; kaum protestan Silesia pun sangat menghormati pemerintah Turki, dan bersedia membayar kemerdekaan mereka dengan tunduk pada hukum Islam… kaum Cossack yang merupakan penganut kepercayaan kuno dan selalu ditindas oleh Gereja Rusia, menghirup suasana toleransi dengan kaum Kristen di bawah pemerintahan Sultan.”

Penerapan Islam secara menyeluruh tidak akan bisa tercapai tanpa payung hukum dan pemerintahan yang khas, ialah khilafah Islam yang mampu menjadi wadahnya. Jika jenazah Rasul saw belum dikuburkan selama 3 hari 3 malam, karena para Shahabat sibuk memikirkan keberadaan institusi penerap Islam serta pembaiatan pemimpin institusi tersebut, bukan berarti mereka lalai dan tidak cinta kepada sang manusia mulia, namun lebih karena keberadaan sebuah negara Islam serta pemimpinnya dianggap sangat urgent karena berkaitan dengan kepentingan dan keberlangsungan hidup umat manusia.
Selain merupakan kebutuhan dan konsekuensi keimanan, Khilafah Islamiyah sesungguhnya merupakan janji Allah SWT.

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shaleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik” (TQS An-Nur[24]:55)
Ibnu Arabi berkata, “Ayat ini merupakan janji umum dalam masalah nubuwwah, khilafah, tegaknya dakwah dan berlakunya syariah secara umum.” (Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, XII/299-202).
Nabi saw juga telah memberikan kabar gembira (bisyarah) bahwa kekuasaan umat Islam yang mencakup seluruh muka bumi. Nabi saw juga memberitakan bahwa era kenabian akan diikuti oleh era Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah lalu disusul era mulkan ‘adhan (para penguasa lalim) dan berikutnya era mulkan jabriyyatan (para penguasa diktator). Kemudian Nabi bersabda:
Selanjutnya datanglah masa Khilafah ‘ala Minhaj al-Nubuwwah
(Khilafah yang berjalan di atas manhaj kenabian).” Setelah itu beliau diam (HR Ahmad).

Kini pertanyaan siapa yang memperjuangkannya, dan bagaimana cara menegakkannya? Apakah dengan jalan kekerasan dan terror sebagaimana yang sering digembar-gemborkan media akhir-akhir ini? Mereka menuduh para teroris punya satu agenda menegakkan negara Islam…bagaimana mungkin negara Islam yang aturannya berasal dari Islam menyalahi ajarannya sendiri? Dalam Islam, penegakkan Islam dan negara hanya bisa tercapai dengan pemikiran yang membuahkan kesadaran. Penggugahan ini tidak bisa dilakukan dengan paksaan, kekerasan, apalagi terror. Dakwah adalah metode sohih yang telah diajarkan Rasulullah selama perjuangannya. Maka, beranjaklah dari tempat anda sekarang, bergabunglah dan berkumpullah dengan komunitas dakwah di seluruh dunia yang bertujuan untuk melanjutkan kehidupan Islam (istinafi hayatil Islam).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar