by:Annisa Nur Amala
Pagi itu, saya menyusuri jalan di sepanjang gerbang UNPAD Jatinangor (versi belum dirombak total). Terlihat pdagang-pedagang kaki
Kemiskinan adalah suatu hal yang wajar keberaadaannya dalam kehidupan, namun bukan hal yang wajar lagi ketika tidak ada perbaikan nasib mereka dari waktu-waktu seperti yang terjadi di jaman sekarang ini. Bukannya menampakkan tanda-tanda berkurangnya angka kemiskinan seperti yang dijanjikan oleh calon-calon pejabat saat kampanye, malah kesenjangan yang terjadi antara si kaya dan si miskin makin menggila jaraknya bagaikan langit dan bumi. Ironisnya, hal ini terjadi di negara sekaya Indonesia dengan tambang minyaknya yang melimpah, tambang emasnya yang menggunung, potensi hutannya yang merimba, kekayaan lautnya yang membahana. Jelas bisa terjadi kalau yang mengelola harta karun itu pihak swasta bahkan asing. Keuntungannya akan lari ke segelintir orang saja. Ambil contoh gunung emas di Timika, Papua. Seharusnya, dengan kekayaan alam itu, rakyat papua bisa hidup dalam kemakmuran. Apalagi kandungan emas disana yang terbesar di dunia yakni sekitar 2,16-2,5 miliar ton, belum lagi kandungan tembaganya sebesar 22 juta ton. Namun realitasnya, sebagian besar penduduk asli papua hidup jauh dari makmur. Bagaimana tidak, wong emas dan tambang-tambang lainnya dikeruk habis-habisan oleh PT.Freeport yang notabene dimiliki pihak asing. Cashflow-nya ya hanya berputar di orang-orang tertentu saja. Menurut kantor berita Reuters, setidaknya ada empat orang behind the scene-nya Freeport yang mendapatkan uang sampai miliaran dalam sebulan. Ambil contoh pendapatan Chairman of the Board, James R Moffet sekitar Rp.87,5 miliar/bulan, President Director, Adrianto Machribie menerima 15,1 miliar/bulan. Warga Papua sendiri hanya kebagian ampas, limbah dan polusi pabriknya.
Masalah kesejahteraan seperti kemiskinan, kelaparan, dan lainnya memang menjadi masalah yang sangat crucial karena menyangkut kelangsungan hidup seseorang. Bahkan, dari masalah tidak taerpenuhinya hajat ini bisa melahirkan masalah-masalah lainnya. Seperti kasus kriminal sampai menimbulkan bibit separatism, mantan wapres Yusuf Kalla sendiri mengakui hal tersebut akibat masalah kesejahteraan. Lantas, apa yang sudah dilakukan pemerintah kita untuk memperbaikinya? Menaikkan harga sembako dan BBM? Memprivatisasi kekayaan alam Indonesia ? Mencabut subsidi pendidikan? Atau meminta bantuan IMF yang malahan memberi beban baru bagi Indonesia yakni utang plus bunganya sampai-sampai pembayaran bunga ini mencapai 30% APBN yang notabene anggaran untuk pendidikan pun tidak mencapai angka 10%? Inilah resep yang ditawarkan sistem kapitalis oleh IMF, Amerika dan konco-konconya. Dan sebagai pasien yang mematuhi nasihat dokternya, pemerintah kita manut-manut saja atas kemauan barat. Namun demikian, ’dokter barat’ ini tidak sungguh-sungguh berniat menyembuhkan pasiennya. Bukan rahasia lagi, dalam kapitalisme dikenal asas manfaat. Setiap langkah yang diambil harus memiliki manfaat dan keuntungan bagi si kapitalis. Tidak ada yang tulus dibalik pertolongan mereka. Sistem kapitalis yang sudah bercokol di dunia kurang lebih 80 tahun yang lalu, terbukti telah gagal mengentaskan kemiskinan, bahkan memperparah keadaan. Orang mampu membeli apapun yang ia mau asal ada fulusnya, tak terkecuali membeli sebuah pulau!. Orang juga mampu menghasilkan uang banyak dalam sekejap mata tak peduli bagaimana caranya, gambling-kek, money game-kek, prostitusi-kek, atau mungkin korupsi. Dalam sistem kapitalis yang mengadopsi paham sekular ini, tidak lagi mencampuradukkan masalah Tuhan dengan kehidupan sehari-hari. ”It’s a free state” begitulah simbol kebebasan yang diemban di negara-negara kapitalis setara Amerika. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi ketika aturan dari Al-Khalik itu dilupakan, yang terjadi adalah kebejatan, kejahatan, kebrutalan dalam peradaban.
Oleh karena itu, akar masalah kemiskinan ini tidak lain adalah sistem yang sekarang diterapkan, tidak hanya masalah ekonomi seperti yang dikatakan beberapa pakar. Jika ingin menuntaskan suatu masalah, maka cabutlah sampai ke akar-akarnya, jangan hanya batang-batangnya saja karena tak lama akan tumbuh lagi masalah yang sama. Terapkan sistem yang sohih yang akan menuntaskan semua masalah. Tentunya sistem ini adalah yang datang langsung dari yang mempunyai kesempurnaan yang hakiki yaitu Allah SWT. Aturan-aturan dalam islam yang diturunkan Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW telah sempurna adanya. Islam sendiri memandang masalah kemiskinan ini harus dituntasakan dengan cara memperhatikan pendistribusian harta di masayarakat, jangan sampai ada harta yang berputar di orang-orang tertentu, sehingga dalam islam tidak dikenal yang namanya swastanisasi atau privatisasi sumber daya alam. Justru kekayaan alam ini wajib hukumnya dikelola negara dan hasilnya akan dikembalikan untuk rakyat dengan harga yang sangat murah bahkan gratis, tidak ada yang namanya mencari laba dari rakyat. Demikianlah sempurnanya islam, aturan yang diturunkan dari Dzat yang Maha Mengetahui apa-apa yang terbaik bagi ciptaan-Nya. Adapun penerapan islam secara menyeluruh tak akan bisa terjadi jika tidak dinaungi oleh suatu institusi/negara yang akan menjamin penerapannya yakni Daulah Khilafah Islamiyah (DKI) yang pernah diterapkan selama 1300 tahun dan menguasai 2/3 bagian dunia. Sudah saatnya islam diterapkan di dunia ini melaui DKI. Mari kita bergerak dan berjuang bersama sebelum datangnya adzab Allah yang amat pedih. Wallahu alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar