Sekitar 2 bulan lagi, rakyat Indonesia kembali menelan pil pahit atas kebijakan pembatasan subsidi BBM yang diklaim pemerintah sebagai amanat UU no.22 tahun 2011 dalam rangka upaya penghematan APBN. Subsidi BBM yang selama ini dianggap boros nampaknya tidak valid, karena anggaran untuk 2011 yang mencapai 160 trilyun belum sebanding dengan hutang dan bunga yang ditanggung oleh bangsa ini sampai 170 trilyun, serta pos-pos pengeluaran lain yang jika ditelisik, mampu untuk ditekan seminimal mungkin, misalnya pos untuk kunjungan dan studi banding DPR, gaji dan tunjangan pegawai , dan lain-lain. Alasan lain kebijakan pembatasan subsidi BBM karena melihat masih banyak orang berduit yang “keenakan” dibantu oleh pemerintah ihwal subsidi BBM pun nyatanya tidak terbukti. Data susenas BPS tahun 2010 telah mensurvei sebanyak 65 % BBM subsidi dimanfaatkan oleh kalangan ekonomi menengah ke bawah, sedangkan 2 % dinikmati oleh orang kaya.
Jadi, yang
mendasari dikeluarkannya kebijakan ini sebenarnya tidak lepas dari agenda
global neoliberalisasi ekonomi. Berdasarkan keputusan APEC di Hawai baru-baru
ini, serta forum anggota G.20 di Prancis, Indonesia sebagai negara yang turut
berkecimpung dalam keduanya, telah bersepakat untuk menghapus secara bertahap
subsidi BBM. Sebagaimana diungkap menteri ESDM tahun 2005 lalu, subsidi BBM
sangat memberatkan investor swasta maupun
asing untuk menjadi pemain dalam bisnis bahan bakar. Dikeluarkannya UU
no.22 tahun 2010 mengenai penguasaan sumber daya migas yang bisa diserahkan
kepada BUMN, koperasi, usaha kecil, dan Badan Usaha Swasta, telah membuka
peluang besar bagi kalangan pebisnis (asing sekalipun) untuk berlomba-lomba
menguasai sumber daya minyak dan gas di Indonesia. Kemudahan sektor hulu untuk
dimasuki pun telah terbuka. Belum cukup sampai disitu, sektor hilir yang sempat
dikeluhkan beberapa pemain asing karena kalah saing akibat masih getolnya BBM
bersubsidi, akhirnya membuat pemerintah menghapus secara berkala subsidi
tersebut, demi menyenangkan para investor asing. Nyatanya, kebijakan ini hanya
menguntungkan mereka, dan mencekik rakyat.
Jika bercermin pada sebuah hadist yang
diamanahkan baginda Rasul SAW yang pernah menjadi kepala negara semasa di
Madinah, terungkap jelas bahwa migas adalah bagian dari kepemilikan rakyat yang
pengelolaannya diwakilkan kepada penguasa. Rakyat sebagai pemilik sejatinya
berhak untuk menerima BBM sesuai harga produksinya atau bahkan secara gratis,
karena Islam memahami betul sumber daya minyak sebagai kebutuhan vital yang
akan menggerakkan sektor-sektor lainnya dalam kehidupan agar bisa berjalan
dengan baik dan membawa pada kesejahteraan. Wallahualam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar